Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama dari segi keuangan dan pertahanan. Keterbatasan dana untuk pemerintah semakin diperparah oleh kebutuhan untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda yang berusaha kembali menguasai Indonesia.
Dalam situasi yang penuh tekanan ini, pemerintah mengambil langkah kontroversial dengan menjual sumber daya alam, termasuk emas, secara rahasia. Tindakan ini dilakukan untuk mengisi kas negara yang kosong, dengan risiko besar jika langkah tersebut diketahui oleh Belanda.
Belanda juga berusaha mendapatkan sumber daya alam tersebut untuk mendanai perang melawan Indonesia. Menurut Oey Beng To dalam karyanya tentang kebijakan moneter Indonesia, praktik penyelundupan menjadi hal yang umum selama periode ini, di mana barang-barang berharga seperti emas dan juga narkoba berhasil dipindahkan dengan cara-cara tersembunyi.
Sejarah Penyelundupan Emas di Era Revolusi
Emas yang diselundupkan berasal dari tambang Cikotok di Banten, yang kemudian diolah di Jakarta. Setelah itu, logam mulia ini dipindahkan secara diam-diam ke Yogyakarta mengikuti perpindahan ibu kota akibat Agresi Militer I oleh Belanda pada tahun 1947.
Proses pengiriman emas dilakukan dengan sangat hati-hati menggunakan kereta api. Dalam pengiriman awal, berat emas yang berhasil dipindahkan mencapai 5 ton, dan jumlahnya terus meningkat seiring dengan kebutuhan mendesak akan dana untuk membeli senjata dan kebutuhan logistik. Emas yang tiba di Yogyakarta memiliki peran penting dalam usaha mempertahankan kemerdekaan.
Pada akhirnya, pada tahun 1948, Belanda kembali menyerang dan berhasil menguasai Yogyakarta. Presiden Soekarno ditangkap, dan pemerintah terpaksa berpindah ke Sumatera Barat. Di Yogyakarta sendiri, masih tersisa sekitar 7 ton emas batangan yang tidak boleh jatuh ke tangan Belanda.
Strategi Menyelundupkan Emas ke Luar Negeri
Proses untuk memindahkan emas ke Sumatera Barat merupakan tantangan besar bagi para pejuang. Mereka pun mengambil keputusan untuk menyelundupkan emas tersebut ke luar negeri agar tidak jatuh ke tangan musuh. Diplomat Aboe Bakar Lubis menuturkan, emas diangkut dengan menggunakan truk dan gerobak sapi yang ditutupi dedaunan untuk menyembunyikannya.
Perjalanan panjang dimulai dari kantor Bank Nasional Indonesia di Yogyakarta menuju Bandara Maguwo, sejauh 10 kilometer. Emas ini kemudian diterbangkan dengan pesawat tempur, terlebih dahulu singgah di Filipina sebelum akhirnya mendarat di Makau.
Pemilihan Makau sebagai tujuan pengiriman bukanlah tanpa alasan. Kota ini telah dikenal sebagai pusat judi dunia, di mana banyak kasino besar berlomba-lomba menawarkan peluang besar untuk uang. Di sini, para pejuang memiliki harapan emas milik Indonesia bisa terjual dengan harga tinggi.
Keberhasilan Penjualan Emas dan Dampaknya
Sesampainya di Makau, emas seberat 7 ton berhasil terjual dengan harga yang mengesankan, sekitar Rp140 juta pada waktu itu. Nilai tersebut sangat signifikan dan, bila disesuaikan dengan nilai emas saat ini, angkanya bisa mencapai triliunan rupiah. Transaksi ini menjadi angin segar bagi pemerintah yang sedang berjuang.
Hasil penjualan emas kemudian digunakan untuk membiayai diplomasi internasional. Pemerintah dalam keadaan darurat ini memerlukan dukungan untuk memperkuat posisi Indonesia di kancah global, termasuk operasional diplomat dan perwakilan di berbagai negara.
Sejarah mencatat bahwa berkat usaha diplomat Indonesia pada waktu itu, Indonesia berhasil meraih pengakuan internasional serta dukungan dari banyak negara. Seluruh upaya ini berkontribusi besar pada kelangsungan perjuangan bangsa dan kemerdekaan Indonesia.