Dunia sedang bergerak cepat menuju transisi energi bersih, didorong oleh penurunan biaya energi terbarukan, peningkatan investasi hijau, dan tekanan krisis iklim yang semakin mendesak. Namun, perjalanan menuju energi bersih ini tidak semulus yang diharapkan, baik bagi Indonesia maupun negara-negara lain di seluruh dunia.
Dalam wawancara mendalam, Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan, Selwin Charles Hart, menyoroti tantangan yang dihadapi dalam perjalanan ini. Menurut Hart, laporan Badan Energi Terbarukan Internasional menunjukkan bahwa meskipun energi terbarukan semakin banyak diperhatikan, realisasi di lapangan masih menghadapi banyak kendala.
Salah satu isu penting yang diangkat adalah peran energi bersih dalam menciptakan keadilan sosial. Hart menyatakan bahwa energi terbarukan memberikan kesempatan luar biasa untuk memberikan akses energi kepada sekitar 700 juta orang yang masih tertinggal di berbagai belahan dunia.
Ia menegaskan bahwa selama dua abad penggunaan energi berbasis fosil, akses universal terhadap energi masih belum dapat dicapai. Masalah alokasi subsidi energi fosil menjadi kendala yang menghambat kemajuan dalam transisi ini.
Dari data yang ada, terlihat bahwa subsidi untuk energi fosil masih jauh lebih besar dibandingkan dengan energi bersih, dengan rasio 9:1. Hal ini tentu berdampak langsung pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang masih sangat bergantung pada pembangkit listrik berbasis batu bara.
Peluang dan Tantangan Energi Terbarukan di Indonesia
Indonesia memiliki target ambisius untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Namun, hingga akhir 2024, capaian terbarunya baru mencapai 13,2%. Pemerintah berusaha untuk mendorong pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, termasuk tenaga surya, angin, dan bioenergi.
Meski ada kemajuan, batu bara tetap menjadi penyumbang terbesar dalam bauran energi nasional. Di sisi lain, negara-negara lain di Asia Tenggara menunjukkan kemajuan yang bervariasi, seperti Vietnam yang berhasil menjadi pemimpin dalam indeks transisi energi berkat kebijakan dan investasi yang kuat di sektor energi bersih.
Malaysia juga menunjukkan komitmen untuk tidak lagi membangun pembangkit batu bara baru, sementara Thailand dan Filipina berusaha mendiversifikasi sumber energi meski hasilnya masih belum optimal. Dalam konteks ini, China memiliki peran vital dengan lebih dari 70% kapasitas energi terbarukan di kawasan tersebut.
Hart menekankan bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, harus mengembangkan jalur unik menuju transisi energi bersih, dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif energi terbarukan. Pembangkit listrik berbasis energi terbarukan menawarkan kecepatan dan biaya yang lebih efisien dibandingkan dengan sumber energi fosil.
Namun, Hart mengingatkan bahwa transisi energi harus mempertimbangkan keadilan sosial sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas, terutama bagi mereka yang hidup dalam kondisi rentan.
Menjaga Keseimbangan antara Kecepatan dan Keadilan dalam Transisi Energi
Proses transisi energi tidak selalu harus berlangsung cepat, tetapi tetap harus berkeadilan. Dalam konteks Indonesia yang memiliki populasi besar dan kebutuhan yang terus berkembang, route transisi yang dipilih harus seimbang antara kecepatan dan keselarasan dengan kebutuhan sosial.
Hart juga menyoroti tantangan yang mungkin mengadang, terutama bagi masyarakat yang rentan akibat perubahan dalam sektor energi. Elemen keadilan menjadi krusial untuk memastikan bahwa transisi ini dapat berfungsi dan diterima secara luas.
Pakar energi berkelanjutan dari Universitas Indonesia, Profesor Widodo W. Purwanto, menambahkan bahwa meskipun Indonesia memiliki target ambisius, implementasi kebijakan masih menghadapi banyak rintangan. Sinkronisasi antara kebijakan antar sektor belum optimal, dan komitmen politik masih tergolong lemah untuk mendorong perubahan yang dibutuhkan.
Widodo menggarisbawahi perlunya reformasi struktural dalam industri energi yang masih sangat bergantung pada sumber daya ekstraktif. Dus, akan diperlukan pendekatan de-risking dan pembiayaan hijau untuk mempercepat adopsi energi terbarukan.
Sementara itu, negara-negara maju seperti Swedia dan Denmark menunjukkan bahwa transisi energi yang efisien dan berkelanjutan dapat diterapkan dengan baik. Mereka telah menjadi model global dengan sistem energi bersih yang stabil dan efisien.
Investasi dan Kebijakan untuk Mempercepat Transisi Energi
Kepastian regulasi dan kebijakan menjadi syarat utama untuk menarik investasi guna mempercepat transisi energi di Indonesia. Rencana yang jelas dan tegas dalam kebijakan akan menjadi kunci penting dalam memfasilitasi masuknya dana dan teknologi yang dibutuhkan.
Organisasi internasional juga menekankan perlunya dukungan global agar negara-negara berkembang dapat menutup pembangkit berbasis batu bara tanpa menanggung seluruh beban finansial. Selwin Hart menegaskan bahwa meskipun tantangan ada di depan mata, ada peluang besar untuk sukses dalam transisi ini.
Menurutnya, teknologi yang ada saat ini sudah jauh lebih maju dan terjangkau, sehingga mempercepat transisi energi menjadi lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Ketersediaan teknologi kini memungkinkan pengurangan emisi secara signifikan jika semua pihak bersedia berkomitmen dan bekerjasama.
Penting untuk tidak hanya mengandalkan kemajuan teknologi, tetapi juga memperkuat komitmen politik dan kerjasama internasional. Tanpa kemauan politik yang kuat, semua upaya ini berisiko terhambat dan gagal mencapai tujuan bersama.
Maka dari itu, semua elemen dalam masyarakat, mulai dari pemerintah hingga sektor swasta, harus melangkah bersamaan untuk mempercepat perjalanan menuju energi bersih yang adil dan berkelanjutan.