Kementerian Perdagangan menyatakan keprihatinan terkait rancangan Undang-undang (RUU) yang mengatur pungutan ekspor. Aturan baru ini dinilai berpotensi tumpang tindih dengan peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya, yang mungkin akan membingungkan pelaku pasar.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Iqbal Shoffan Shofwan mengungkapkan bahwa pungutan ekspor saat ini telah tertera dalam sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015. Dengan adanya regulasi baru, ia khawatir hal ini justru akan menambah kerumitan dalam pelaksanaan kebijakan.
“Pengaturan kembali dalam RUU ini dikhawatirkan menjadi tumpang tindih,” ungkap Iqbal dalam rapat dengan Badan Legislatif DPR baru-baru ini. Kekhawatiran ini mencuat mengingat kompleksitas yang mungkin ditimbulkan oleh berbagai regulasi yang bersinggungan.
Dampak Pungutan Ekspor terhadap Pelaku Usaha
Pungutan ekspor yang diatur dalam RUU dinilai akan memberikan dampak langsung kepada pelaku usaha, terutama di sektor perkebunan. Jika aturan baru ini diberlakukan, pelaku usaha mungkin akan menghadapi beban biaya yang meningkat, yang pastinya akan berdampak pada profitabilitas mereka.
Iqbal menambahkan, setiap pelaksanaan ekspor kini diwajibkan untuk melalui proses verifikasi atau penelusuran teknis. Proses ini, meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, tetap dipandang sebagai halangan bagi eksportir.
“Saat ini kami tidak melihat komoditas perkebunan yang menerapkan instrumen lartas seperti verifikasi atau penelusuran tarif ekspor,” kata Iqbal, menunjukkan perlunya evaluasi kembali terhadap persyaratan ini. Kebijakan baru ini berpotensi mempengaruhi daya saing produk dalam pasar global.
Pengaturan Regulasi yang Berlapis
Dalam konteks kebijakan pertanian dan perkebunan, pengaturan yang berlapis sepertinya menjadi hal yang tak terhindarkan. Dalam RUU Komoditas Strategis, komoditas yang diatur meliputi berbagai jenis hasil bumi yang penting bagi pasar domestik dan internasional.
Beberapa di antaranya adalah cengkeh, kakao, dan karet, yang sangat bergantung pada kondisi pasar global. Sebagaimana yang dinyatakan dalam RUU, komoditas strategis ini tidak hanya berpotensi mendukung ekonomi, tetapi juga berperan dalam pembangunan sosial dan lingkungan.
“Komoditas ini harus diawasi dengan baik agar sesuai dengan standar perdagangan yang berlaku,” jelas Iqbal. Dengan pengaturan yang tepat, diharapkan produk-produk ini dapat bersaing secara efektif.
Kepentingan RUU terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional
RUU tentang Komoditas Strategis tidak hanya mempengaruhi pelaku usaha, tetapi juga berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Kebijakan yang jelas dan transparan diharapkan dapat menarik lebih banyak investasi di sektor perkebunan.
Peningkatan investasi dalam sektor ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Iqbal mengungkapkan bahwa penataan yang lebih baik di sektor komoditas strategis bisa menjadi pendorong utama dalam mencapai target ekonomi nasional.
“Kami percaya bahwa dengan pengaturan yang lebih baik, sektor ini akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian,” ujarnya optimis. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi yang inklusif dapat tercapai.