Ratusan petani tebu di Jawa Timur kini berada dalam situasi yang kritis, terdesak oleh masalah penyerapan gula yang tidak optimal. Mereka mengancam akan melakukan aksi mogok massal akibat penumpukan sekitar 76.700 ton gula yang tidak terserap di pasaran.
Para petani mendesak pemerintah untuk segera memenuhi janji mereka dalam menyerap gula tersebut. Dengan kondisi yang semakin sulit, para petani merasa opsi untuk melanjutkan operasional pertanian semakin menipis karena banyaknya gula yang terjebak di gudang.
Sunardi Eko Sukamto, Sekjen DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), menyatakan bahwa operasional petani terhambat dan mereka mulai kehilangan harapan. Sementara itu, pabrik-pabrik gula juga dilaporkan tidak dapat beroperasi dengan baik karena kondisi ini.
Protes Petani Tebu di Tengah Ketidakpastian Pasar Gula
Dalam pernyataannya, Sunardi mengungkapkan keprihatinan mendalam mengenai situasi yang dihadapi para petani tebu. “Kami sudah kewalahan luar biasa,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa banyak pabrik gula tidak mampu menggiling karena stok gula yang melimpah.
Menunggu janji dari pemerintah, Sunardi berharap adanya bantuan, termasuk pencairan dana sebesar Rp1,5 triliun yang dijanjikan. Dana tersebut akan digunakan oleh beberapa perusahaan untuk membeli gula dari petani agar dapat meredakan krisis ini.
Apabila pemerintah gagal memenuhi janji tersebut, para petani merasa tak ada pilihan lain kecuali melakukan mogok massal. Mereka sangat mencemaskan masa depan industri gula dan keberlanjutan hidup mereka.
Dampak Krisis Gula Terhadap Ekonomi Pedesaan
Sunardi mengungkapkan kerisauan tentang dampak jangka panjang dari krisis penyerapan gula ini. “Jika kondisi ini berlanjut, kami mungkin tidak akan menanam tebu lagi,” ujarnya dengan nada tegas. Hal ini jelas akan memengaruhi perekonomian pedesaan yang bergantung pada sektor pertanian tebu.
Dewan Pembina DPD APTRI, Arum Sabil, menambahkan bahwa pemerintah harus segera membeli ratusan ribu ton gula yang tidak terserap. “Petani gula merupakan penggerak ekonomi pedesaan yang tidak bisa diabaikan,” katanya.
Arum juga memperingatkan bahwa banyaknya gula rafinasi impor yang tersedia di pasar berkontribusi pada masalah ini, mengikis daya saing gula lokal. Kondisi ini mengancam keberlangsungan pertanian tebu di Indonesia, yang banyak dijalankan oleh petani kecil.
Pentingnya Langkah Strategis oleh Pemerintah untuk Petani Tebu
Menurut Arum, salah satu solusi jangka panjang adalah pembentukan badan khusus yang dapat berfungsi sebagai mediator antara petani dan isu panen gula. Ia menyarankan agar pemerintah mengatasi masalah ini secara komprehensif untuk mencegah masalah serupa di masa depan.
Arum juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap birokrasi yang rumit dalam penyaluran dana yang dijanjikan. “Panjang birokrasi yang tidak terintegrasi ini justru berpotensi menghambat bantuan yang sangat dibutuhkan petani,” tuturnya.
Pemerintah harus bertindak cepat dan efektif untuk mencegah petani tebu semakin terpuruk. “Jika anggaran Rp1,5 triliun terealisasi, ini tidak hanya membantu petani bertahan, tetapi juga memberikan sinyal positif ke pasar,” imbuhnya.
Harapan di Tengah Ketidakpastian bagi Para Petani Tebu
Arum mencatat bahwa langkah pemerintah untuk membeli gula petani seharusnya dipandang sebagai investasi, bukan kerugian. Sebab, pemerintah bisa menjual gula tersebut kembali ke pasar dan memanfaatkan dukungan untuk keuntungan yang lebih luas.
Seiring dengan harapan yang mengemuka, para petani tetap menunggu dengan cemas. Jika harapan ini tidak terwujud, mereka khawatir akan kehilangan masa depan pertanian tebu di Indonesia.
Dari pernyataan-pernyataan yang muncul, jelas terlihat bahwa kondisi ini harus segera diatasi. Petani tebu bukan hanya berjuang untuk menyelamatkan hasil panen mereka, tetapi juga untuk keberlangsungan kehidupan mereka di musim-musim depan.