Langkah yang diambil oleh Bank Indonesia (BI) untuk mengurangi suku bunga acuan dari 6,25% pada Agustus 2024 menjadi 4,75% hingga Oktober 2025 menunjukkan upaya besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, penurunan ini belum sepenuhnya berimbas pada suku bunga kredit yang ditawarkan oleh bank-bank di Indonesia.
Deputi Gubernur BI, Aida S Budiman, menyampaikan bahwa meskipun suku bunga acuan telah diturunkan secara signifikan, respons perbankan terhadap kebijakan tersebut terbilang lambat. Dalam satu bulan setelah penurunan suku bunga, suku bunga dana pihak ketiga (DPK) hanya turun sebanyak 29 basis poin, sedangkan suku bunga kredit bahkan lebih kecil yaitu hanya 15 basis poin.
“Dengan penurunan sebesar 150 basis poin, hanya direspons dengan penurunan 29 basis poin di DPK dan 15 basis poin di kredit,” ungkap Aida dalam rapat dewan gubernur yang digelar pada 21-22 Oktober 2025. Ini menandakan bahwa meskipun ada niat untuk menurunkan suku bunga, aksi di lapangan tidak sejalan dengan harapan.
Pentingnya Penurunan Suku Bunga untuk Perekonomian
Penurunan suku bunga acuan diharapkan dapat mendorong bank untuk menurunkan suku bunga kredit, sehingga mempermudah masyarakat dan pengusaha mengakses pembiayaan. Namun, situasi saat ini menunjukkan bahwa perbankan mungkin masih memperhitungkan risiko sebelum mengambil langkah menurunkan suku bunga kredit lebih drastis.
Aida juga mencatat bahwa penurunan suku bunga di pasar uang berjalan lebih cepat dibandingkan di perbankan. Hal ini menjadi indikasi bahwa mekanisme transmisi kebijakan sudah ada, tetapi mungkin tidak sepenuhnya efektif dalam mendorong perbankan untuk segera menyesuaikan suku bunga pinjaman.
Misalnya, di Indonesia, suku bunga pasar uang telah turun hingga 204 basis poin, sedangkan imbal hasil surat berharga negara (SBN) juga mengalami penurunan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa sektor pasar uang dan SBN lebih responsif dibandingkan sektor perbankan terhadap kebijakan moneter yang dikeluarkan BI.
Strategi BI: Kebijakan Insentif Likuiditas
Dalam upaya meningkatkan penyaluran kredit oleh perbankan, BI merencanakan pelaksanaan kebijakan insentif likuiditas (KLM). Kebijakan ini dirancang untuk mendorong bank-bank supaya lebih agresif dalam menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih kompetitif sesuai dengan suku bunga acuan BI.
Insentif ini terbangun dari beberapa elemennya, seperti insentif lending channel sebesar 5% dari DPK dan insentif interest rate channel sebesar 0,5% dari DPK. Dengan total insentif yang dapat diterima bank mencapai 5,5% dari DPK, diharapkan langkah ini menjadi pendorong bagi bank untuk menurunkan suku bunga kredit mereka.
Lebih lanjut, besaran insentif yang diberikan akan dipertimbangkan berdasarkan pertumbuhan kredit yang direalisasikan bank dibandingkan dengan komitmen sebelumnya. Hal ini memacu bank untuk lebih proaktif dalam memberikan kredit kepada nasabah.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi ke Depan
Dalam konteks ekonomi Indonesia yang berpotensi tumbuh terhambat, langkah BI untuk menurunkan suku bunga acuan adalah keputusan strategis. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong investasi dan konsumsi rumah tangga yang pada gilirannya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, tantangan di lapangan tetap ada, terutama terkait dengan kepercayaan perbankan serta kondisi perekonomian global yang saat ini bergejolak. Perbankan perlu melihat penurunan suku bunga sebagai kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada nasabah dan mempertahankan likuiditas yang sehat.
BI, lewat kebijakan KLM ini, berharap untuk menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi pertumbuhan kredit yang berkelanjutan. Dengan kombinasi kebijakan moneter dan insentif, BI berupaya memastikan bahwa akses keuangan menjadi lebih mudah bagi masyarakat luas.