Dalam beberapa waktu terakhir, data pertumbuhan ekonomi Indonesia telah menjadi topik perdebatan dan kontroversi. Beberapa pihak mempertanyakan keakuratan dan integritas data yang dirilis oleh pemerintah, yang menyatakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen pada kuartal II 2025. Tudingan manipulasi data ini datang dari berbagai kalangan, termasuk ekonom dan analis pasar yang ragu terhadap validitas angka tersebut.
Pemerintah, melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, membantah tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menyajikan data yang transparan, baik yang positif maupun negatif, sesuai dengan kondisi riil ekonomi.
Data ekonomi memang sering kali menjadi alat ukur penting untuk mengevaluasi kinerja suatu negara. Namun, dalam kasus ini, perbedaan pandangan antara pemerintah dan para ekonom menyebabkan ketidakpastian di kalangan masyarakat dan investor.
Kontroversi di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Salah satu poin utama yang menjadi perhatian adalah adanya ketidakcocokan antara data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan indikator-indikator lain di lapangan. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, mencatat bahwa pertumbuhan industri pengolahan yang dilaporkan BPS tidak selaras dengan penurunan yang terlihat dalam Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur.
Sementara BPS melaporkan bahwa sektor industri pengolahan tumbuh 5,68 persen dan berkontribusi 18,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), faktanya PMI Manufaktur menunjukkan kontraksi dari level 47,4 menjadi 46,9. Ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai keandalan data tersebut.
Selanjutnya, Bhima juga menyoroti fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih berlangsung di sektor industri padat karya. Di tengah klaim pertumbuhan, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, dan penciptaan lapangan kerja tampaknya stagnan.
Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga yang Mencurigakan
Aspek lain yang mengejutkan adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang hanya tercatat sebesar 4,97 persen. Mengingat bahwa sektor ini berkontribusi hingga 54,25 persen terhadap perekonomian, seharusnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa lebih tinggi.
Andry Satrio Nugroho, dari Institute for Development of Economics and Finance, mencermati bahwa sektor perdagangan dan reparasi mobil saja tumbuh 5,37 persen. Namun, konsumen, berdasarkan survei, tampaknya masih dihadapkan pada fenomena yang menarik perhatian, yakni rombongan jarang beli (rojali), yang diungkapkan oleh para pelaku retail.
Kontradiksi ini menimbulkan kecurigaan akan keakuratan data yang dipublikasikan BPS. Ketika terjadi efisiensi anggaran di sektor pemerintahan, pertumbuhan sektor akomodasi dan makanan justru dikabarkan mencatat angka yang tinggi, yakni 8,04 persen. Ini jelas bertolak belakang dengan kondisi yang diamati di lapangan.
Keberadaan Data yang Mencurigakan dan Anomali Ekonomi
Pertanyaan yang lebih mendalam muncul mengenai apakah data yang disajikan oleh pemerintah benar-benar mencerminkan keadaan ekonomi yang sebenarnya. Beberapa ekonom, termasuk Mohamed Fadhil Hasan, mempertanyakan bagaimana pertumbuhan sektor manufaktur bisa begitu tinggi meskipun indikator seperti PMI justru bergerak ke arah berlawanan.
Proyek-proyek yang diharapkan dapat menambah lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi tidak tampak memberi hasil yang nyata. Sebagai contoh, beberapa smelter nikel diketahui menghentikan produksi, namun kinerja ekonomi justru diklaim tumbuh.
Dengan semua kejanggalan ini, ada suara yang mendorong pemerintah untuk memberikan penjelasan rinci dan menjelaskan metodologi yang digunakannya dalam menghitung angka-angka pertumbuhan ekonomi. Keterbukaan informasi semacam ini sangat diperlukan untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap data yang dikeluarkan.